Rabu, 24 November 2010

Piranha - Ketika Ikan2 Purba Mengamuk

Publik Amerika Serikat mulai mengenal nama sutradara asal Perancis, Alexandre Aja, setelah sutradara, Wes Craven, mengajaknya untuk mengarahkan versi remake dari film horror The Hills Have Eyes pada tahun 2006. Ajakan ini sendiri datang setelah Craven melihat hasil karya Aja, Haute Tension (2003), yang sekaligus menempatkannya pada daftar Ten Directors To Watch di majalah film, Variety, pada tahun 2004. Walau The Hills Have Eyes mendapatkan sambutan yang beragam dari para kritikus film dunia, film tersebut terbukti sukses dalam memperoleh keuntungan komersial.

Aja kemudian kembali melakukan remake film horror dengan menyutradarai film Mirrors (2008), yang kembali gagal mendapatkan perhatian para kritikus film, namun terbukti bekerja sangat baik bagi para penggemar film horror dan mendapatkan keuntungan komersial yang cukup baik. Belum lelah dalam melakukan remake film horror, kali ini aja melakukan remake terhadap film horror komedi berjudul Piranha yang pernah dirilis pada tahun 1978. Judul, naskah cerita, teknologi special effects serta jajaran pemeran film ini memang boleh dinilai second rate, namun Aja ternyata secara mengejutkan mampu mengolah berbagai potensi tersebut dengan sangat baik dan menghasilkan Piranha sebagai satu film horror yang sangat menghibur.

Beach, boob, blood adalah tiga tema yang disatukan dalam Piranha. Berlatar belakang waktu masa liburan springbeak yang banyak dimanfaatkan para pemuda di Amerika Serikat untuk bersenang-senang, film ini bercerita mengenai Jake (Steven R McQueen), pemuda asal Lake Victoria yang malah harus tinggal di rumah unruk mengawasi kedua adiknya. Ketika bertemu dengan Kelly (Jessica Szohr), gadis yang pernah disukainya di masa sekolah, bersama dengan seorang sutradara, Derrick (Jerry O’Connell), dan salah seorang bintangnya, Danni (Kelly Brook), Jake ditawari untuk ikut dalam proses pembuatan flm terbaru mereka sebagai tour guide yanga dapat menunjukkan wilayah mana saja yang dapat dimanfaatkan selama proses pengambilan gambar. Sebuah tawaran yang tidak dapat ditolak, tentu saja.

Sementara Jake membawa para kru film – yang ternyata adalah serombongan tim pembuat film dewasa – sang ibu, yang merupakan sheriff di wilayah tersebut, Julie (Elizabeth Shue), sedang merasa khawatir bahwa daerah yang ia awasi sedang berada dalam ancaman sebuah makhluk berbahaya yang baru saja ia dan timnya temukan: sekelompok ikan piranha ganas dalam jumlah yang besar dan dalam keadaan sangat lapar. Bersama sekelompok tim peneliti, ia kemudian mencoba memperingatkan para pemuda yang sedang berpesta pora di pantai bahwa wilayah perairan sedang dalam keadaan bahaya. Hal yang sia-sia, tentu saja. Hasilnya, tidak membutuhkan waktu lama bagi para piranha untuk menyantap santapan mereka secara bebas.

Ancaman piranha sendiri akhirnya sampai pada tim pembuat film, yang secara tidak sengaja justru dibawa Jake ke daerah perairan yang menjadi pusat berkembangbiaknya para piranha. Satu persatu penghuni kapal tersebut akhirnya menjadi korban. Panik, Jake akhirnya menghubungi sang ibu. Julie tentu saja terpaksa harus melakukan apapun untuk dapat menyelamatkan Jake dari ancaman piranha. Bersama salah seorang peneliti, Novak (Adam Scott), Julie kemudian mati-matian berperang melawan para makhluk ganas tersebut.

Piranha sendiri dibuat berdasarkan film horror berjudul sama karya sutradara Joe Dante yang dirilis pada tahun 1978 sebagai parodi terhadap kesuksesan film thriller, Jaws (1975), yang disutradarai oleh Steven Spielberg. Kesuksesan Piranha pada waktu itu akhirnya membuat sutradara James Cameron (ya, James Cameron yang satu itu!) untuk merilis sekuelnya, Piranha II: The Spawning (1981), yang menjadi debut penyutradaraannya (namun hingga kini tak pernah diakuinya) namun memperoleh krititikan yang tajam dari banyak kritikus film dunia.

Kini, tampaknya Cameron harus “belajar” lebih banyak mengenai bagaimana mengelola sumber daya yang terbatas untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari sutradara Alexandre Aja. Remake Aja terhadap Piranha sangat berpegang teguh pada film aslinya, bahkan pada beberapa titik berhasil berjalan lebih efektif. Makhluk primitif dengan tampilan urakan pemakan manusia, adegan pesta pantai yang sangat sensual, para gadis-gadis menari dengan pakaian minim (pada beberapa adegan bahkan kehilangan pakaian bagian atas mereka), gadis yang bercinta dengan gadis lainnya dan tentu saja… potongan daging dan darah yang tersebar dimana-mana. Piranha karya Aja adalah film popcorn horror murni yang akan sulit untuk ditolak siapapun. Baiklah, tidak semua orang. Namun film ini adalah hasil terbaik yang dapat Anda peroleh dari sebuah film horror berkualitas second rate!

Jalan cerita yang ditulis oleh Aja bersama Grégory Levasseur dan dua penulis naskah Sorority Row, Pete Goldfinger dan Josh Stolberg, harus diakui sama sekali tidak memiliki keistimewaan apapun. Sangat mengikuti formula standar film-film horror Hollywood. Sebelum akhirnya para piranha mulai melakukan aksi penyerangannya, deretan adegan drama yang ada dan digunakan untuk memperkenalkan para karakter memang terasa sangat kering dan kurang menarik. Akting yang dihadirkan juga tampil seadanya. Untungnya hal tersebut tidak berlangsung lama. Begitu para piranha melakukan agresinya, intensitas film ini meningkat dengan cepat. Dengan selipan beberapa adegan komedi (Piranha menggigit penis adalah adegan yang akan paling dikenang ), intensitas ini terus terjaga hingga ke penghujung film.

Piranha adalah sebuah contoh yang sangat baik dari seorang sutradara yang mampu memanfaatkan setiap sumber daya yang diberikan kepadanya untuk menghasilkan sebuah karya yang maksimal. Naskah cerita film ini dengan patuh mengikuti setiap pakem standar cerita film horror yang ada, namun Aja tetap mengeksekusinya dengan unsur hiburan dan thriller yang luar biasa berhasil. Dengan dukungan jajaran pemeran yang diisi aktor dan aktris kelas B – namun dengan daya akting yang sama sekali tidak mengecewakan – Piranha menjelma menjadi sebuah teror berdarah yang akan dapat dinikmati setiap penggemar film horror. Antara menikmati atau Anda akan mual dibuatnya.

Rating: 8/10

Download Film Piranha

The Last Excorcism - Teror Arwah Merasuki Tubuh

Terlihat sebagai sebuah perpaduan The Exorcist (1973) dengan The Blair Witch Project (1999), The Last Exorcism adalah sebuah film yang menggunakan teknik mockumentary dalam penyampaian ceritanya yang menyinggung mengenai proses pengusiran setan yang dilakukan oleh seorang pendeta terhadap seorang gadis. Disutradarai oleh sutradara film indie asal Jerman, Daniel Stamm, walaupun kualitasnya sama sekali belum mampu mendekati The Exorcist maupun The Blair Witch Project, namun The Last Exorcism adalah sebuah tayangan horror yang cukup mampu untuk memberikan ketegangan pada siapapun yang menontonnya.

The Last Exorcism mengisahkan mengenai kehidupan pendeta Cotton Marcus (Patrick Fabian). Cotton adalah salah seorang pendeta yang sering melakukan proses pengusiran setan terhadap siapapun yang meminta bantuannya. Walau begitu, kepercayaannya sendiri terhadap dunia spiritual sebenarnya telah lama hilang ketika ia membaca sebuah artikel yang menggambarkan bagaimana sebuah proses pengusiran setan menyebabkan kematian seorang anak yang menderita penyakit autis, yang mengingatkan Cotton akan putranya yang juga mengidap autis. Setelah itu, perlahan-lahan Cotton lebih mempercayai bahwa proses pengobatan seharusnya dilakukan oleh tim medis daripada dipercayakan kepada para pendeta atau mereka yang mengatakan dapat melakukan pengusiran terhadap setan.

Ketidakpercayaannya pada dunia spiritual ini pula yang menyebabkan Cotton setuju pada ajakan Iris (Iris Bahr) dan Daniel (Adam Grimes) untuk memfilmkan proses pengusiran setan untuk membuktikan pada dunia luar bahwa kebanyakan proses tersebut hanyalah berisi kepura-puraan belaka. Secara acak, Cotton lalu memilih sebuah surat yang meminta bantuannya untuk mengusir setan. Ia bersama kedua kru film dokumenter tersebut akhirnya berangkat menuju tempat tinggal Louis Sweetzer (Louis Herthum), yang memiliki seorang putri, Nell (Ashley Bell), yang ia percaya telah kerasukan setan.

Seperti yang biasa ia lakukan, Cotton lalu berpura-pura melakukan proses pengusiran setan terhadap Nell, yang kemudian dipercaya oleh Louis telah berhasil menyembuhkan putrinya. Tidak ada yang menyangka bahwa ketika malam menjelang, Nell telah berada di kamar hotel Cotton. Kelakuan Nell sendiri menunjukkan kondisi yang semakin menakutkan – suatu hal yang akhirnya memaksa Cotton untuk benar-benar melakukan proses pengusiran setan yang berpeluang untuk berakhir dengan kematian Nell.

Walau bukan film pertama yang mengangkat mengenai tema pengusiran setan, namun The Last Exorcism sendiri memiliki keunikan sendiri di dalam jalan ceritanya. Jika pada film-film lainnya sang pendeta pengusir setan merupakan seorang yang mungkin memiliki masalah kepada kepercayaannya terhadap Tuhan, maka The Last Exorcism sendiri menghadirkan karakter Cotton Marcus yang telah benar-benar kehilangan kepercayaannya. Ini yang membuat karakter Cotton Marcus begitu kuat dan cukup menarik.

Penggunaan teknik mockumentary di dalam penceritaan sendiri terbukti cukup berhasil dalam memberikan tambahan atmosfer menegangkan yang dibutuhkan oleh jalan cerita film ini – terlepas dari beberapa gangguan yang terjadi akibat teknik pencahayaan minimalis yang digunakan di beberapa adegan. Jalan cerita The Last Exorcism sendiri berjalan dengan alur menengah — yang terkadang terasa cukup lambat berjalan – namun berhasil memberikan beberapa adegan menegangkan yang sangat baik di beberapa titik ceritanya. Dengan durasi penceritaan selama 87 menit, The Last Exorcism juga menawarkan ending yang cukup mampu dihadirkan sebagi puncak ketegangan cerita.

The Last Exorcism juga mendapatkan dukungan yang sangat baik dari para jajaran pemerannya, khususnya Patrick Fabian dan Ashley Bell. Sebagai seorang pendeta yang kehilangan kepercayaannya secara total kepada Tuhan, Fabian tampil dengan sangat sempurna, khususnya di momen ketika ia akhirnya mulai memperoleh kepercayaannya kembali. Tantangan berat akan karakter yang memiliki perubahan kepercayaan mampu diemban Fabian dengan sangat baik. Aktris Ashley Bell juga secara khusus mampu tampil baik sebagai seorang gadis yang kerasukan setan. Momen-momen dimana karakternya diceritakan sedang berada dalam kuasa setan adalah momen-momen terbaik Bell di sepanjang cerita film ini dimana ia mampu tampil dengan sangat meyakinkan.

Berjalan dengan alur yang benar-benar tertata dengan baik, The Last Exorcism mampu tampil menyegarkan dari sebuah tema cerita yang sepertinya telah banyak dikupas di banyak film-film Hollywood sebelumnya. Sutradara Daneil Stamm memanfaatkan dengan sangat baik teknik mockumentary untuk menciptakan dan menjaga intensitas ketegangan jalan cerita film ini. Ditambah dengan kehadiran para jajaran pemerannya yang tampil dengan sangat baik, The Last Exorcism menjadi satu dari sedikit rilisan film horror yang muncul dengan kualitas yang sangat memuaskan.

Rating: 8 / 10

The Crazies - Virus Ganas Pembuat Emosi


Selamat datang di kota Ogden Marsh, Iowa, Amerika Serikat. Sebuah kota kecil dengan penduduk yang ramah dan saling mengenal satu sama lain. Keakraban diantara setiap warganya sendiri dapat terlihat pada berbagai acara yang digelar di kota tersebut. Seperti yang terlihat di film The Crazies, dimana seluruh warganya sedang berkumpul untuk menonton pertandingan baseball di sebuah sekolah.

Namun, tentu saja tak satupun dari warga Ogden Marsh akan menyangka bahwa pada hari itu, seorang pria bernama Rory Hamill (Mike Hickman), akan datang ke lapangan baseball dengan membawa sebuah senjata. Diduga sedang mabuk, Sheriff David Dutton (Timothy Olyphant), segera mengamankan Rory. Tak disangka, Rory malah melawan dan berniat menembak David dengan senjatanya. Beruntung, David lebih siaga dan menembak Rory terlebih dahulu, sekaligus menewaskannya. Hasil pemeriksaan dokter, yang menunjukkan bahwa kadar alkohol di darah Rory dalam hitungan normal, semakin membingungkan David mengapa Rory melakukan hal tersebut.

Kejadian aneh di kota tersebut tidak berhenti sampai disana. Beberapa hari kemudian, seorang petani, Bill Farnum (Brett Rickaby), yang beberapa hari sebelumnya mulai bersifat aneh dan sempat diperiksa oleh istri David, Judy Dutton (Radha Mitchell), ternyata malah melakukan pembunuhan terhadap istri dan anaknya dengan membakar mereka hidup-hidup.

Penemuan sesosok mayat di sungat terdekat di kota tersebut, akhirnya mengarahkan David dan deputinya, Russell Clank (Joe Anderson), menemukan sebuah pesawat terbang yang jatuh di sungai tersebut. Nantinya, David akan menemukan bahwa pesawat tersebut berisi sebuah senjata biologis, yang karena kecelakaan pesawat yang membawanya, akhirnya mencemari sungai yang menjadi sumber air minum warga kota tersebut.
Dalam sebuah adegan yang mengingatkan akan 28 Weeks Later, sejumlah pasukan bersenjata pemerintah tiba-tiba melakukan evakuasi besar-besaran terhadap warga Ogden Marsh. Mereka melakukan penelitian dan memisahkan antara orang-orang yang dianggap sehat dengan orang-orang yang diduga telah tercemar dengan virus. David, Judy dan Russell kini harus segera melarikan diri dari kota tersebut setelah mengetahui bahwa pasukan pemerintah tidak hanya akan mengevakuasi mereka yang sakit, namun akan melakuakn penghancuran total terhadap Ogden Marsh beserta seluruh warga yang masih ada di dalamnya.

The Crazies sendiri merupakan sebuah remake dari film berjudul sama karya sutradara George A Romero yang pernah dirilis pada tahun 1973. Versi terbaru dari The Crazies sendiri harus diakui tidak memberikan sesuatu yang baru jika dibandingkan dengan film-film karya George A Romero lainnya maupun film-film bertema apocalypse lainnya seperti 28 Weeks Later. Bedanya mungkin jika pada film-film lainnya seorang korban terkena virus mereka akan berubah menjadi seorang zombie pemakan manusia, maka pada The Crazies mereka yang terkena virus hanya digambarkan akan meninggal atau bersifat lebih garang dari manusia biasa.

Sutradara Breck Eisner sendiri berhasil membangun intensitas ketegangan film ini semenjak awal film. Secara perlahan-lahan, Eisner kemudian terus membangun tingkat ketegangan yang lebih di adegan berikutnya dengan memberikan beberapa adegan kejutan yang harus diakui akan berhasil membuat setiap penggemar film-film thriller merasa terpuaskan. Tidak seperti film horror remake kebanyakan, berbagai adegan di film The Crazies dilakukan dengan sangat rapi. The Crazies tidak hanya menawarkan berbagai adegan darah yang selalu ada di film-film sejenis, namun juga berbagai pilihan gambar yang menambah kesan muram dan gelap dari film ini yang semakin akan menambah intensitas ketegangan dari jalan cerita.

Walaupun tidak ada yang memberikan penampilan yang sangat istimewa, para jajaran pemeran The Crazies berhasil menghidupkan setiap karakter yang mereka mainkan. Ini, sekali lagi, membuat The Crazies unggul jauh dari film-film sejenisnya yang banyak beredar dalam beberapa tahun terakhir. Joe Anderson, yang berperan sebagai Russell, mungkin adalah yang paling stand-out penampilannya dibandingkan jajaran pemeran lainnya. Anderson berhasil memberikan gambaran yang baik akan seorang Russell, yang walaupun dipercaya oleh David dan Judy, namun memiliki temperamen yang membuatnya perlahan-lahan dijauhi keduanya.

The Crazies sebenarnya tidak menawarkan sesuatu yang baru maupun istimewa di dalam jalan ceritanya. Namun, sutradara Breck Eisner berhasil memberikan perlakuan yang tepat untuk film ini. Dengan membangun intensitas ketegangan secara perlahan semenjak awal film, serta memberikan berbagai adegan mengejutkan di sepanjang jalan ceritanya, membuat The Crazies setidaknya tampil elegan dan lebih baik dari film-film sekelasnya yang banyak dirilis beberapa tahun belakangan.

Rating: 7.5 / 10

Vertige (High Lane) - Kesialan Para Pendaki Gunung

Sama sekali tidak ada yang baru di Vertige, sebuah film horror arahan sutradara asal Perancis, Abel Ferry. Ketika menyaksikan sekelompok anak muda sedang bersemangat untuk menjelajah suatu wilayah yang seharusnya tidak mereka masuki, para penonton pastinya akan langsung terbayang berbagai adegan di film The Hills Have Eyes, The Descent maupun Wrong Turn, sekaligus mulai menebak siapa diantara karakter tersebut yang akan bertahan di akhir cerita.

Yang menjadi objek penderita kali ini adalah lima orang pemuda Perancis, Fred (Nicolas Giraud) dan kekasihnya Karine (Maud Wyler), Chloé (Fanny Valette) yang juga membawa sang kekasih, Loïc (Johan Libéreau), serta mantan kekasih Chloé, Guillaume (Raphaël Lenglet), yang ikut serta karena ajakan Karine. Bersama, mereka berhasrat untuk menaklukkan sebuah pegunungan, yang sebenarnya, ketika mereka tiba, telah memiliki tanda terlarang untuk dimasuki.

Well… rules are made to be broken. Namun begitu, pasti akan ada konsekuensi ketika seseorang melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Memasuki daerah terlarang, berbagai hal aneh mulai menimpa kelima orang ini, mulai dari putusnya jembatan yang mereka seberangi hingga berbagai kejadian aneh yang mulai mengancam nyawa mereka satu persatu. Bukan hanya itu, masalah internal antara mereka, terutama yang menyangkut hubungan Chloé dan Loïc dengan mantan kekasih Chloé, Guillaume, juga menjadi rintangan tersendiri bagi mereka untuk menyelamatkan diri.

Walaupun menerapkan formula film horror yang telah seringkali digunakan dalam film-film Hollywood, namun harus diakui bahwa Abel Ferry masih mampu memberikan ketegangan sendiri dalam beberapa adegan di film ini. Ini dikarenakan Ferry tidak lagi berusaha membuat Vertige terlihat lebih pintar dengan memberikan plot-plot penuh twist untuk mengejutkan penontonnya. Ferry hanya memanfaatkan apa yang telah diharapkan oleh penontonnya untuk hadir di film ini, mempersiapkannya dan kemudian mengeksekusinya dengan cukup baik.

Sederhana, namun Ferry berhasil menjaga keeratan antar satu adegan dengan adegan lainnya di sepanjang film ini, yang membuat intensitas film ini berjalan dengan lancar. Walaupun terasa lambat di awal film, Vertige lama-kelamaan bergerak dengan kecepatan yang semakin dinamis. Intensitas ini juga banyak terbentuk karena bantuan akting para pemeran film ini yang tampil cukup baik dalam menghidupkan karakternya.
Ferry juga merasa bahwa karakterisasi yang mendalam terhadap setiap karakter yang ada di film ini tidak begitu diperlukan. Hal ini memang seperti menempatkan penonton sebagai orang luar, tanpa ikatan emosional dan hanya menyaksikan kisah ini terjadi begitu saja.  Karena itu pula, beberapa sub cerita yang ditawarkan tidak begitu tergali. Hanya ditampilkan secara sekilas guna semakin memperumit masalah utama yang ingin dihadirkan film ini.

Harus diakui Vertige, yang di Amerika Serikat dirilis dengan judul High Lane, mendapatkan perlakuan yang cukup layak dari sisi produksinya. Semua sisi teknikal disusun dan dikemas dengan cukup rapi. Lihat saja hasil karya sinematografer Nicolas Massart yang menangkap keindahan alam sekitar latar belakang cerita dengan cukup baik. Hal yang sama juga berlaku pada tata musik dan editing film ini yang cukup membantu memberikan ketegangan tersendiri selama film ini berjalan.

Satu hal yang patut diberikan perhatian dari Vertige adalah kemampuan sutradara Abel Ferry untuk mengolah kembali formula yang telah lama digunakan dan mengasahnya kembali dan menghadirkannya dengan tingkat ketegangan yang cukup. Sayangnya, Ferry masih kurang berusaha lagi untuk meningkatkan sisi drama yang sebenarnya cukup potensial yang dapat diperoleh dari beberapa sub plot cerita di film ini. Hasilnya, walau tidak spektakuler, Vertige setidaknya masih cukup mumpuni untuk ditonton sebagai sebuah hiburan bagi penggemar film-film sejenis.


Rating: 6 / 10

Selasa, 23 November 2010

Death Bell - Bel sekolah tanda kematian

Untuk beberapa tahun terakhir ini, sepertinya para sineas Korea Selatan kurang antusias dalam menggarap sinema horor. Berbeda dengan di awal-awal dekade ini misalnya, dimana industri perfilman Korea seolah-olah dibanjiri oleh horor. Akhir-akhir ini justru secara kuantitas genre horor bisa dihitung dengan jari saja. Hal ini mungkin disebabkan karena terjadi penurunan pemasukan secara signifikan untuk film sejenis ini yang mungkin saja disebabkan terjadinya degradasi baik dari segi ide dan kreatifitas. 

‘Death Bell’ atau ‘고死 – Gosa’ adalah dari yang sedikit film horor yang dirilis di tahun-tahun terakhir ini, dan beruntung karena lumayan sukses secara komersial (meraih lebih kurang 1.6 juta penonton). Pastilah ada yang istimewa dari film arahan Chang (yah, namanya di poster film memang tertulis cukup begitu, padahal bernama asli Yoon Hong-seung).

Sekelompok siswa dari sekolah elit terpilih berdasarkan peringkat nilai ujian untuk memperoleh bimbingan khusus guna memeroleh bangku di perguruan tinggi favorit. Di bimbing oleh dua orang guru, Bapak Chang-wook yang ramah (Lee Beom-soo, ‘My Wife is a Gangster 3′) dan Ibu So-young (Yoon Jeong-hee) yang sedikit dingin dan kaku. Dua orang sahabat, si tomboy Ina (Nam Gyu-ri) dan si lembut Myong-hyo (Son Yeo-eun). 

Saat bimbingan dimulai, tiba-tiba layar televisi dikelas memperlihatkan tayangan teman mereka yang terjebak disebuah tangki akuarium. Sebuah suara melalui pengeras suara lantas memperintahkan mereka untuk menyelesaikan sebuah soal. Jika mereka tidak mampu, maka Hye-yeong, nama siwi tersebut, akan mati (mengingatkan akan SAW saudara-saudara?). Sialnya mereka gagal dan Hye-yeong pun tewas. Akhirnya mereka pun mulai menyadari keseriusan ancaman si suara misterius tersebut. 

Satu persatu dari mereka diculik, berdasarkan peringkat nilai ujian. Dan teman-teman yang tersisa harus memberi jawaban dari sekumpulan soal, atau siswa yang diculik akan mati. Pada akhirnya, selain berusaha memecahkan soal, mereka juga berupaya menyingkap misteri sang dalang prilaku keji tersebut!

Pada awal film, Chang seolah-olah mengindikasikan jika filmnya akan bergenre atmosferik, dengan pemunculan hantu perempuan berambut panjang. Namun, saat film mulai bergulir, terbukti jika tortured-porn ala seri SAW menjadi pedoman sejati dari film ini. Bahkan beberapa elemen dari subgenre slasher juga mendominasi. Film lantas menjadi sebuah adu ajang kecerdikan, tebak-tebakan dan gorevaganza

Meski mempunyai ide yang unik, namun secara umum plot dari ‘Death Bell’ mengandung beberapa kelemahan yang cukup signifikan. Misalnya, kenapa para murid ini percaya saja jika mereka akan sulit keluar dari sekolah, meski ada ancaman dari sang pembunuh. Lantas, trik-trik muslihat si pembunuh juga terasa kurang masuk akal dan mengandung unsur kebetulan yang luar biasa, sehingga rencananya dapat berjalan dengan mulus. Belum lagi twist di akhir film yang terasa menggelikan!

Terlepas dari itu, Chang cukup kompeten dalam menggarahkan aliran filmnya secara menarik. Film tidak membosankan dan tetap mampu membuat kita tertarik untuk terus terlibat didalamnya. Beruntung ia mempunyai Lee Beom-soo. Aktor senior ini memainkan peranannya dengan menarik dan memberi realitas dalam absurditas ceritanya. 

Dengan begitu, ‘Death Bell’ memang menjadi lumayan menarik, akan tetapi tidak cukup menarik sehingga wajib untuk ditonton bagi penggemar horor. Namun, dengan sepinya K-Horror akhir-akhir ini, ‘Death Bell bolehlah menjadi pilihan. 

Oh ya, di tahun 2010 ini sudah dirilis pula sikuel film yang berjudul ‘Death Bell 2: Bloody Camp’. 

Eden lake - Liburan berbuah bencana

Jenny dan pacarnya Steve, mengisi akhir pekan ke sebuah danau terpencil. Danau terpencil yang tertutup oleh hutan dan tampak sepi. Kedamaian pasangan itu  hancur ketika sekelompok anak-anak umur belasan tahun mengganggu perkemahan mereka.  Memprovokasi , mencuri barang-barang Steve dan Jenny dan merusak mobil Steve sehingga membuat mereka benar-benar terdampar. Ketika Steve mencoba menghadapi mereka, ia terluka dan praktis tinggal menyisakan Jenny untuk membantu mereka menemukan jalan keluar dari hutan itu.  

Saya suka Eden Lake bukan karena adegan penyiksaan yang dilakukan geng2 bocah tersebut melainkan gimana Jenny harus survive dan kucing-kucingan lari dari kejaran mereka. Gimana dia rela ngumpet didalam septic tank yang bau dan nongol dengan penampilan ala john rambo. Adegan penyiksaan yang dilakukan terhadap Steve juga masih terlihat wajar tidak diumbar seperti Hostel. Agak menyebalkan juga sih nonton film ini ketika saya berpikir kok jagoannya bisa begitu repot melawan anak2 ABG bau kencur begitu. Tapi sudahlah, ini cuma tontonan kok. 

Overall, film ini lumayan menghibur apalagi melihat Kelly Reilly yang sepanjang adegan berpakaian dengan belahan yang syurr....apa ga kedinginan ya...^^


Rating 6/10


Download

REC 2 - Teror Virus Semakin Menambah Korban

Tidak banyak film sekuel yang mutunya sama bahkan lebih bagus dari yang pertama. Dan (Rec)2 , adalah salah satunya.

Sebagaimana diketahui, (Rec) menjadi fenomena di genre horror dan fantasi. Bahkan, film itu 'diadaptasi' menjadi Quarantine dan Te (rekam) itu. Dan sangat wajar, dengan larisnya film itu produser ingin membuatkan lanjutannya.

Di luar ekspetasi, ternyata film ini terasa lebih mencekam. Masih dengan format ala tradisi Blair Witch Project hingga Cloverfield, film ini tidak mengulang begitu saja formula originalnya.

Berbeda dengan yang pertama, penyebab orang menjadi buas dan bertingkah mirip zombie serta menularkannya itu bukan karena virus misterius mematikan, tetapi benar-benar murni perbuatan setan!

Ini mengembalikan film ini pada tradisi film horor klasik, yaitu kekuatan supranatural dari dunia kegelapan. Di sini, kesurupan akibat perbuatan iblis dilawan dengan pendeta lengkap dengan salib, air suci, dan berbagai perangkat keagamaan sakral lainnya.

Film ini menjadi kembali ke pendekatan  old school macam Exorcist. Tentu ini berbeda dengan film pertamanya yang sama sekali profan, alias tidak ada urusannya dengan Tuhan dan kekuatan agama.

Nilai lebih lainnya adalah cara bertuturnya.  Cerita di film Spanyol  ini adalah multiplot.  Pertama, menceritakan tentang sekelompok pasukan Swat  yang  bertugas mengevakuasi gedung—dan mirip dengan game seperti Time Crisis atau Resident Evil, lengkap dengan font nama pemain yang berkedap-kedip.

Kisah kedua adalah seputar sekelompok remaja yang dengan rasa penasaran ingin masuk ke gedung yang terlarang itu, dan terjebak pada situasi mengerikan: menjadi mangsa para zombie dan siap tertular. Dan, asyik juga menikmati saat kedua plot ini berada dalam satu irisan. Kita seakan disuguhi dua perspektif dari adegan yang sama.

Nah, yang menariknya lagi, ternyata besutan sutradara Jaume Balagueró dan Paco Plaza ini masih satu semesta dengan [Rec] yang berjarak 2 tahun. Ia sebenarnya masih di zona waktu yang sama, dan di gedung yang sama. Buktinya, ternyata ada tokoh perempuan utama di film pertama, seorang wartawati program televisi, Angela Vidal,  yang masih selamat.

Tapi tak ada gading yang tak retak, entah kenapa intesitas kengerian REC 2 ini kalah jauh dengan yang pertama. Memang masih ada kejar2an dengan zombie yg cuma ditemani dengan flashlight tapi ga lebih cuma pengulangan dari film yang pertama. Dan yang bikin saya kecewa dimasukkan unsur supranatural ke dalam skenarionya. Gambaran virus yang tadinya jadi penyebab utama dalam film yang pertama seakan2 hilang. 

Twist di akhir cerita benar2 bikin saya melongo. Dan bakal ada kelanjutannya nanti di 2011. Overall, untuk sebuah sequel REC 2 bukan film yang jelek2 amat tapi juga engga bagus2 amat tergantung penilaian anda

Rating: 7.5/10

Senin, 22 November 2010

Cabin Fever - ketika virus demam mengamuk

Cabin Fever, oleh produser Eli Roth, adalah film horror yang lucu dan menyenangkan. Satu-satunya masalah adalah bahwa saya lupa kalo saya sedang menyaksikan film horor, tetapi tidak benar-benar yang menakutkan. Berdarah mungkin, tetapi tidak menakutkan.

Cabin Fever dibuka oleh sekelompok mahasiswa (yang diperankan oleh aktor/aktris dari negeri antah berantah) ketika mereka menandai akhir dari ujian mereka dengan mengambil liburan yang ga biasa yaitu menghabiskan beberapa hari bersantai di kabin (vila kalo disini) di tengah hutan nowhereville,amerika.

Masalah muncul ketika  seorang pria yang datang untuk mengacaukan pesta mereka. Pria itu tampaknya menderita penyakit yang aneh. Sudah bisa ditebak mereka berusaha mengusir pria itu. Dan pria yang entah terinfeksi dengan penyakit apa itu tewas. Paginya kehidupan berjalan normal seperti sedia kala. Seorang dari mereka tiba2 jatuh sakit setelah mengkonsumsi air dari keran. Usut punya usut ternyata mayat pria yang tewas tadi tercebur dalam sungai yang telah terinfeksi oleh virus dan dari sungai itu mengalirlah air yang disalurkan melalui pipa2 dan dibawa ke kabin mereka.

Singkat cerita mahiswi yang sakit itu diasingkan oleh teman2nya. Penyakit yang ditimbulkan oleh virus itu lumayan mengerikan.Dari sekujur tubuh penderita akan keluar darah sampai si korban mati kehabisan darah. Ternyata yang terjangkit virus tersebut tidak hanya satu saja ternyata ada beberapa dari mereka yang mulai terjangkit virus mengerikan itu tapi diam2 tidak mengakuinya.

Sejak bagian awal ngga ada sepotong pun cerita yang menjelaskan bagaimana akar permasalahan tiba" muncul. Namun yang menjadi hal menarik disini adalah bagaimana sang sutradara bisa membangun tensi secara perlahan demi perlahan namun pasti lewat sumber permasalahan diatas. Sulit klo saya rasa membangun tematik plot untuk film horror yang bisa membuat siapapun penonton betah di tempat duduk tanpa harus merasa bosan. Terlebih karena kebanyakan film" horror yang ada jarang menggunakan struktur seperti ini karena terlalu fokus pada scare factor. Tapi soal darah jangan khawatir. Eli dah siapin lebih dari seember.. x)

Selain unsur horror, Eli Roth juga mencoba menambah sedikit sentilan komedi lewat dialog" dan tampilan visual dari tipikal" anak muda yang selengean dan beberapa karakter berkelakuan aneh sebagai bumbu penyegar. Untungnya beberapa dari bagian komedi itu bisa terpasang pas sehingga membuatnya jauh dari kesan maksa dan bisa tampil apa adanya.

Tapi mungkin karena fokus bermain aman lewat alurnya yang pelan. Eli Roth lupa memperhatikan satu faktor yakni pendalaman karakter. Saya ngga melihat ada satu tokoh yang bisa menonjol diantara lainnya, beberapa malah terlihat justru mereka semua berada dalam satu level yang sama. Meskipun saya tahu leading aktornya siapa, cuma saya rasa akting yang dia bawa belum cukup bikin karakter yang diperankannya menjadi lebih kuat. Siapa sih yang ga mau jadi superhero ya ga? And yet again, perhatian saya ga sampe kesana karena lebih baik saya fokus sama inti cerita daripada memikirkan perjuangan karakter utama melawan kematian.

Buat ukuran debut penyutradaraan, Eli Roth menurut saya berhasil menyuguhkan satu tampilan film yang lumayan bagus. Apalagi mengingat film ini cuma berbudget 3x lipat lebih mahal daripada film Blair Witch Project yang notabene cuma makan biaya produksi ga lebih dari setengah juta dollar. Mungkin klo ada biaya tambahan, Eli Roth bisa mencoba menambahkan sedikit atmosfir supaya film ini agak sedikit lebih tajam dan gelap. But now, i think it have done enough..

Pada akhirnya, saya merasa wajar klo film ini dulu sempet jadi hype. Ya meskipun ga setinggi ekspektasi saya, tapi syaa akuin klo saya lumayan enjoy nonton film. Klo anda suka film" horror gore bertema klasik dengan alur yang santai plus sedikit sentuhan jaman modern. film ini wajib diberi kesempatan...

 Rating 7.5/10

Download

The Mirrors - kutukan hantu kaca

Satu lagi film horror dari sutradara favorit saya, Alexandre Aja. Buat saya film2 garapan dia memang ga ada yang jelek. Sebut saja Hite Tension yang benar menguras adrenalin saya sampai benar2 orgasme karena tegang, atau The Hills Have Eyes yang berdarah-darah itu. The Mirrors adalah remake dari film korea yang berjudul Into the Mirror.  

Ben Carson adalah mantan polisi New York City. Berpisha dengan istrinya, ia pernah membunuh teman kerjanya dan kemudian berhenti dan kembali ke kebiasaan mabuknya.Putus asa untuk mendapatkan hidupnya kembali, ia pun mengambil pekerjaan sebagai penjaga keamanan malam di sebuah gedung yang ditinggalkan karena kebakaran yang menghanguskan seluruh gedung beberapa tahun lalu  dan tetap kosong karena sengketa yang berkelanjutan dengan perusahaan asuransi.
 
Sekitar gedung itu tampak luluh lantak akibat kebakaran, setelah semua, segala sesuatu di toko tersebut hangus dan tidak berharga.kecuali untuk sebuah cermin. Entah bagaimana, cermin di toko tetap utuh dan rapi bersih. Penjaga malam sebelumnya, ditemukan mati menggorok lehernya sendiri dengan pecahan kaca yang ada disitu

Ben terlalu menjadi terobsesi ketika ia mulai melihat penampakan kematian di refleksi cermin. Tapi Ben terus bekerja di toko itu - sampai ia mulai melihat penampakan di rumahnya juga. Ia pun sadar bahwa ada yang tidak beres dari cermin2 itu sampai ia terperangkap dalam tabir misteri yang harus diungkap sebelum semua keluarganya tewas oleh kutukan cermin tersebut.

Yang jadi poin plus disini adalah Aja tidak terjebak pada naskah dari film originalnya. Dia tidak jatuh pada cetakan hantu2 asia yang khas berambut panjang dan muka penuh dengan bedak, tidak ada balas dendam seperti yang sering digambarkan oleh horror2 asia. Twist endingnya juga menarik. overall film adaptasi ini lumayan bisa dijadikan koleksi. 

Rating 7.5/10 

Download 

REC - Teror virus misterius di apartemen

[REC] dimulai dengan seorang reporter yang cantik Angela Vidal (Manuela Valasco) membidik segmen untuk acara TV malam berlokasi di sebuah stasiun pemadam kebakaran lokal. Disini skenario berjalan lambat, dimana Angela berusaha untuk mengisi segmen-nya dengan wawancara pribadi dan permainan basket. Sampai ketika akhirnya ada panggilan masuk dari penyewa di sebuah gedung apartemen yang mengeluhkan teriakan yang datang dari salah satu kamar. Jadi polisi dan pemadam kebakaran dipanggil, dan Angela dan juru kamera nya, Pablo, memutuskan untuk datang bersama untuk naik. Ketika mereka tiba ke panggilan tersebut, para tetangga memilih  berkumpul di lantai bawah sementara staf darurat - dan kru televisi - menyelidiki lantai atas dan menemukan seorang wanita tua di apartemennya dalam keadaan gila. Dimana awalnya pekerjaan akan berjalan dengan mudah, sayangnya, semua orang di gedung ini akan berhadapan dengan rasa takut yang paling intens. Ada sesuatu yang jahat di gedung itu, dan tidak ada jalan keluar, kecuali kematian.

[REC] berhasil membangun ketegangan dengan cara yang terstruktur rapi yang awalnya  lambat tetapi tiba-tiba meledak dengan takut yang sangat intens. Fotografi yang di pegang tangan juga memungkinkan penonton larut akan ketakutan dan melompat ketika mahluk yang datang secara alami keluar. Beberapa kali saya menahan nafas menunggu kalo-kalo si mahluk itu tiba2 muncul dari balik kegelapan. Pada akhirnya, film ini membangun momentum begitu banyak ketegangan. Kedengarannya seperti film zombie? seperti itulah, tapi [REC] adalah sesuatu yang jauh lebih banyak memiliki ketegangan dan lebih baik juga. Saya rekomendasikan film bagus ini untuk para pencinta horror diluar sana

Di Amerika sendiri [REC] disadur dengan judul Quarantine dengan plot yang hampir sama. cuma buat saya versi orisinil punya taste yang lebih dari sekedar jiplakannya

Rating 9/10

Kengerian berjudul RUMAH DARA

Saya termasuk penonton yang anti menonton film-film horror made in lokal, selain jalan ceritanya yang stagnan ga ada hal baru yang bisa disajikan di setiap film yang keluar. Apalagi bumbu seks yang melekat kuat di setiap film. Tapi setelah melihat Rumah Dara persepsi saya itu hilang.

Ketika menonton film ini kali pertama saya tersentak kaget. seraya berkata WTF ada juga yang bikin film kaya gene di Indo??Bukan karena genre yang dibawakan oleh sang sutradara yang boleh dibilang ga komersil tapi kesadisan demi kesadisan yang dipertontonkan sepanjang durasi film. Berhubung waktu itu tidak dapat tiket bioskopnya jadi saya menonton film ini di dvd original. Apakah LSF mencukur beberapa adegan sadis di bioskop entah ya yang pasti saya masih bisa melihat jelas potongan kepala salah satu karakter dipenggal dalam versi DVD (ups..spoiler).

Secara garis besar, Rumah Dara ini bercerita mengenai malam paling mencekam dari 6 orang sahabat, Adjie dan Astrid pasangan suami istri muda yang sedang dikaruniai kebahagiaan dengan akan hadirnya anak pertama dalam kehidupan mereka; Ladya adik Adjie; serta Jimmy, Eko, dan Alam. Adjie, Astrid, Jimmy, Eko, dan Alam melakukan perjalanan ke Bandung untuk dapat bertemu dengan Ladya dalam rangka memperbaiki hubungan kakak-beradik yang sempat tidak akur dan sebagai ajang untuk mengucapkan perpisahan sebelum Adjie beserta Astrid memulai hidup baru di Australia. Di tengah perjalanan kembali ke Jakarta, mereka bertemu dengan seorang gadis cantik bernama Maya yang meminta bantuan untuk diantarkan ke rumahnya karena baru saja mengalami musibah perampokan. Dan, tidak disangka, justru kebaikkan hati mereka dalam mengantarkan Maya menjadi sebuah neraka tersendiri yang menyebabkan satu per satu dari mereka dibunuh secara sadis.

Film Rumah Dara ini memang film thriller Indonesia yang berbeda dari lainnya. Rumah Dara berhasil mendobrak tipikal film-film thriller atau horror Indonesia dengan tidak mengumbar seksualitas sebagai daya jualnya. Tidak ada pocong cupu yang tiba2 nongol dari balik jendela atau kuntilanak yang dengan isengnya ngacir dari pohon ke pohon. Seperti naik roller coaster yang penonton dapati benar-benar suasana tegang yang tidak putus-putusnya ketika melihat satu per satu dari 6 sahabat tersebut diburu oleh Ibu Dara beserta anak-anaknya. Suguhan yang diberikan oleh Mo Brothers ini memang tidak tanggung-tanggung. Sepanjang film, kita bisa melihat betapa memang Rumah Dara ini cocok juga diberi nama Rumah Dara(h) karena darah yang berceceran di mana-mana akibat adanya upaya penjagalan terhadap 6 tokoh buruan.

Salut buat Shareefa Danish yang berperan sebagai ibu Dara. Perannya menghayati banget. Seolah-olah Dara benar-benar diciptakan hanya untuk Shareefa. Suara berat dan tingkah laku yang dibentuk mampu menggambarkan bahwa dara memang sungguh wanita psikopat. Apalagi tagline yang akan selalu diinget sama saya waktu dia bilang "ENAK KAAAN", sumpah ngeri banget!!! Julia Estelle juga bermain bagus disini, sebagai cameo film selain Danish sendiri dia menunjukkan bahwa perempuan juga bisa jadi jagoan. Dan sepertinya endingnya menunjukkan bahwa akan ada sequel dari film ini.

Perhatian bagi yang lemah jantung, ibu-ibu hamil tidak disarankan untuk menonton film ini. 

Rating : 8/10

Download